Persamaan Indonesia Saat Baru Merdeka dengan Suriah dan Afghanistan Sekarang


Kemerdekaan sebuah negara sering kali menjadi momen bersejarah yang penuh harapan, namun juga diwarnai tantangan besar. Suriah, Afghanistan, dan Indonesia memiliki kisah yang menunjukkan kesamaan dalam perjuangan mereka membangun pemerintahan baru di tengah krisis ekonomi dan politik pasca-kemerdekaan atau perubahan rezim. Ketiga negara ini menghadapi situasi di mana warisan kolonial, konflik internal, dan ketidakstabilan global mempersulit langkah awal menuju kedaulatan sejati. Meski berbeda waktu dan konteks, benang merah perjuangan mereka terlihat jelas.

Suriah, setelah kejatuhan Bashar al-Assad, berada dalam posisi yang sangat genting. Rezim yang telah berkuasa selama puluhan tahun runtuh, meninggalkan negara dalam kekacauan ekonomi dan politik. Dukungan dari sekutu besar seperti Iran dan Rusia, yang telah menggelontorkan miliaran dolar untuk menopang Assad, tiba-tiba meredup. Investasi besar dari kedua negara itu seolah menguap tanpa hasil yang signifikan bagi rakyat Suriah. Situasi ini diperparah oleh ketidakpastian dari kelompok “Friends of Syria,” yang hanya memberikan janji investasi tanpa komitmen nyata.

Sementara itu, Afghanistan menghadapi tantangan serupa ketika Taliban kembali berkuasa. Setelah kejatuhan pemerintahan sebelumnya, pejabat lama melarikan diri membawa serta dana besar, meninggalkan kas perbankan dalam kondisi kosong. Lebih buruk lagi, Amerika Serikat membekukan aset Afghanistan senilai lebih dari 10 miliar dolar di luar negeri. Hal ini membuat pemerintahan baru Taliban kesulitan membiayai kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan dan layanan publik, di tengah sanksi internasional dan isolasi diplomatik.

Indonesia, pada masa awal kemerdekaan, juga mengalami situasi yang tak jauh berbeda. Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia mewarisi ekonomi yang porak-poranda akibat penjajahan Jepang dan Belanda. Jepang, sebelum meninggalkan Indonesia, menguras banyak uang dari bank dan membawa kabur emas yang ada. Belanda, yang telah lama mengeksploitasi kekayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, juga turut merampas harta benda berharga.

Kondisi ekonomi Indonesia semakin sulit ketika Belanda, melalui Nederlandsch-Indische Civiele Administratie (NICA), kembali datang dengan misi merebut kembali kendali. Alih-alih membantu pembangunan, Belanda justru membebani Indonesia dengan utang. Utang ini berasal dari berbagai klaim sepihak, termasuk biaya operasi militer Belanda di Indonesia. Situasi ini membuat pemerintahan baru Indonesia, yang masih rapuh, harus berjuang keras untuk menstabilkan ekonomi sambil mempertahankan kemerdekaan.

Suriah pasca-Assad menghadapi tantangan tambahan berupa infrastruktur yang hancur akibat perang saudara berkepanjangan. Kota-kota besar seperti Aleppo dan Damaskus sebagian tinggal puing, dan layanan dasar seperti listrik dan air bersih nyaris tidak berfungsi. Ketidakpastian politik juga membuat investor asing ragu untuk menanamkan modal, meskipun ada janji-janji manis dari komunitas internasional. Tanpa dukungan nyata, Suriah kesulitan membangun fondasi pemerintahan yang stabil.

Afghanistan di bawah Taliban juga tidak jauh berbeda. Negara ini menghadapi krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan warga kekurangan pangan dan obat-obatan. Pembekuan aset oleh Amerika Serikat membuat pemerintahan Taliban sulit mengakses dana untuk membiayai pembangunan. Ditambah lagi, pelarian pejabat lama yang membawa kabur dana negara memperburuk situasi, meninggalkan rakyat dalam kemiskinan yang semakin dalam.

Indonesia pada masa awal kemerdekaan juga menghadapi krisis serupa. Selain kehilangan aset berharga, Indonesia harus berhadapan dengan blokade ekonomi yang diberlakukan Belanda. Perdagangan internasional terhambat, dan cadangan devisa negara sangat terbatas. Pemerintahan Soekarno harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti beras dan bahan pokok lainnya, sambil menghadapi ancaman militer dari Belanda.

Ketiga negara ini memiliki kesamaan dalam hal ketidakstabilan politik yang menghambat pembangunan. Di Suriah, pemerintahan baru harus memukai dari nol dengan gangguan bersenjata dari SDF Kurdi, Alawite dan Druze. Di Afghanistan, Taliban berjuang untuk mendapatkan legitimasi internasional sambil menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok internal. Di Indonesia, perjuangan diplomasi di tengah agresi militer Belanda menjadi ujian besar bagi pemerintahan baru.

Selain itu, ketergantungan pada pihak eksternal menjadi ciri khas ketiga negara ini. Suriah bergantung pada Iran dan Rusia selama perang saudara, namun dukungan itu memudar setelah Assad jatuh. Afghanistan, di sisi lain, kehilangan akses ke dana internasional akibat sanksi dan pembekuan aset. Indonesia juga menghadapi tekanan dari Belanda dan sekutunya, yang berusaha memaksakan pengaruh ekonomi dan politik melalyi IGGI, CGI dll.

Krisis kepemimpinan juga menjadi masalah bersama. Di Suriah, transisi kekuasaan setelah Assad dipenuhi intrik dan konflik antar-faksi. Di Afghanistan, Taliban harus menghadapi tantangan internal dalam menyatukan berbagai kelompok di bawah satu komando. Indonesia, pada masa awal kemerdekaan, juga menghadapi perpecahan politik, termasuk pemberontakan lokal yang melemahkan persatuan nasional.

Faktor eksternal turut memperumit situasi. Suriah menjadi arena tarik-menarik kepentingan asing, dengan negara-negara seperti Turki, Amerika Serikat, dan Rusia berlomba memengaruhi arah politik negara itu. Afghanistan menjadi korban sanksi internasional yang menghambat pemulihan ekonomi. Indonesia, di sisi lain, harus menghadapi tekanan dari Belanda dan sekutunya yang ingin mengembalikan kolonialisme.

Namun, di tengah kesulitan, ketiga negara ini menunjukkan ketangguhan. Suriah, meski terpuruk, memiliki rakyat yang berjuang untuk membangun kembali kehidupan mereka. Afghanistan, di bawah tekanan internasional, tetap berusaha menjalankan pemerintahan meski dengan sumber daya terbatas. Indonesia berhasil mengatasi tantangan awal kemerdekaan melalui diplomasi dan perjuangan bersenjata, hingga akhirnya diakui sebagai negara berdaulat.

Kisah ketiga negara ini menunjukkan bahwa kemerdekaan atau perubahan rezim bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tantangan baru. Ketidakstabilan ekonomi, krisis politik, dan tekanan eksternal menjadi bagian tak terpisahkan dari proses membangun negara. Namun, semangat untuk bangkit dan memperjuangkan kedaulatan tetap menjadi pendorong utama.

Suriah, dengan sejarah panjangnya sebagai pusat peradaban, kini berada di persimpangan untuk menentukan masa depannya. Afghanistan, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya, berjuang untuk menemukan tempat di panggung dunia di tengah isolasi. Indonesia, yang telah melalui perjuangan panjang, kini menjadi contoh bagaimana sebuah negara bisa bangkit dari keterpurukan pasca-kemerdekaan.

Perjuangan ketiga negara ini juga menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak hanya soal membebaskan diri dari penjajah atau rezim lama, tetapi juga tentang membangun sistem yang adil dan berkelanjutan. Suriah membutuhkan stabilitas politik untuk memulai rekonstruksi. Afghanistan memerlukan dukungan internasional untuk mengatasi krisis kemanusiaan. Indonesia, di masa lalu, membutuhkan persatuan nasional untuk menghadapi ancaman eksternal.

Tantangan ekonomi menjadi salah satu hambatan terbesar. Suriah kehilangan sumber pendapatan utama akibat perang. Afghanistan tidak memiliki akses ke cadangan devisanya sendiri. Indonesia, pada masa awal kemerdekaan, harus menghadapi inflasi dan kekurangan pangan. Ketiga negara ini menunjukkan bahwa tanpa stabilitas ekonomi, kemerdekaan hanya menjadi simbol tanpa makna nyata.

Namun, ada pelajaran berharga dari perjuangan ini. Indonesia, meski menghadapi kesulitan besar, berhasil membangun fondasi negara melalui Konferensi Meja Bundar dan pengakuan internasional pada 1949. Suriah dan Afghanistan, meski masih dalam tahap awal, memiliki peluang untuk belajar dari sejarah bangsa lain, termasuk Indonesia, dalam membangun pemerintahan yang stabil.

Kisah Suriah, Afghanistan, dan Indonesia adalah cerminan dari perjuangan universal untuk kedaulatan dan kesejahteraan. Meski tantangan yang dihadapi berbeda, semangat untuk bangkit dari keterpurukan tetap sama. Ketiga negara ini menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah proses panjang yang membutuhkan ketabahan, visi, dan kerja keras.

Di tengah dunia yang terus berubah, Suriah, Afghanistan, dan Indonesia mengajarkan kita bahwa perjuangan untuk membangun negara tidak pernah mudah. Namun, dengan tekad dan semangat pantang menyerah, setiap negara memiliki peluang untuk menulis sejarahnya sendiri, menuju masa depan yang lebih baik dan bermartabat.

Share on Google Plus

About Redaksi

Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus dan melintasi penjuru langit dan bumi, maka tembus dan lintasilah! Kamu tidak akan dapat menembus dan melintasinya kecuali dengan kekuatan..
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment